Saat ini, belum banyak kaum milenial yang memahami beda zakat, infak dan wakaf dan bisa jadi sebagian besar masih beranggapan sama karena melihat ketiganya sama-sama hanya menyisihkan sebagian harta untuk sesama .
Istilah Wakaf pun bisa jadi masih dipahami dalam bentuk tanah wakaf untuk dijadikan seperti masjid atau mushola karena banyaknya masjid atau mushola yang disebut sebagai wakaf. Apakah wakaf memang harus berbentuk tanah dan untuk masjid atau mushola?
Wakaf berasal dari bahasa Arab yaitu Waqafa yang berarti menahan, berhenti, atau diam di tempat. Dan menurut hukum Islam wakaf berarti menyerahkan hak milik atas sesuatu yang tahan lama kepada Pengelola Wakaf (Nazhir). Nazhir boleh perorangan ataupun sebuah lembaga, tetapi saat ini lebih dipercaya bila dalam bentuk lembaga yang resmi sudah terdaftar di Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan mengawasi apakah Nazhir cukup bertanggung jawab dalam mengelola harta benda wakaf untuk kepentingsn ibadah dan pemberdayaan masyarakat. Dengan begitu, wakaf jelas tidak serupa dengan infak yang lebih dipahami sebagai perbuatan menafkahkan harta yang dimiliki di jalan Allah.
Yang menjadi perbedaan mendasar antara keduanya, yaitu kebermanfaatan penggunaan dana infak memiliki jangka waktu relatif singkat karena akan langsung habis untuk memenuhi kebutuhan penerima manfaatnya. Misalnya infak memberi makan dhuafa yang setiap hari saja butuh makan 3 kali sehari. Sementara pemanfaatan wakaf bertahan selamanya karena harta tidak habis tetapi berhenti dimiliki oleh seseorang untuk dikelola agar bermanfaat lebih luas dan terus produktif.
Lalu bagaimana dengan Zakat, bukankah zakat juga sama-sama memberikan sebagian harta kita untuk yang tidak mampu?
Bisa dikatakan benar juga sih, tetapi zakat termasuk ke dalam rukun Islam dan tentu menjadi bersifat wajib hukumnya. Sedangkan Wakaf menjadi satu perbuatan lebih setelah melaksanakan kewajiban rukun islam, sifatnya sebagai penyempurna kebajikan.
Lalu, mengapa milenial perlu tau perbedaan ketiga hal di atas?
Bicara tentang Milenial, Penulis William Strauss dan Neil Howe secara luas dianggap sebagai pencetus penamaan Milenial. Mereka menciptakan istilah ini pada tahun 1987, di saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah, dan saat itu media mulai menyebut sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA pada tahun tahun 2000. Mereka menulis tentang kelompok ini dalam buku-buku mereka Generations: The History of America’s Future Generations, 1584 to 2069 (1991) dan Millennials Rising: The Next Great Generation (2000).
Dilanjut pada tahun 2012 ada sebuah studi yang menunjukkan bahwa generasi millenial lebih terkesan individual, cukup mengabaikan masalah politik, fokus pada nilai-nilai materialistis, dan kurang peduli untuk membantu sesama jika dibandingkan dengan generasi X dan generasi baby boom pada saat usia yang sama. Studi ini sendiri berdasarkan analisis terhadap dua database dari 9 juta orang yang duduk di bangku SMA atau yang baru masuk kuliah.
Generasi Milenial bila dilihat dari sisi negatifnya, merupakan pribadi yang pemalas, narsis, dan suka sekali melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Namun, di sisi lain mereka memiliki sisi positif, diantaranya adalah generasi millenial merupakan pribadi yang pikirannya terbuka, pendukung kesetaraan hak hidup manusia. Mereka juga memiliki rasa percaya diri yang bagus, mampu mengekspresikan perasaannya, pribadi liberal, optimis, dan menerima ide-ide dan cara-cara hidup.
Maka saat ini tidak sedikit studi yang memang sengaja di arahkan kepada generasi milenial, untuk lebih membuka pandangan mereka perihal hidup sosial antar manusia, dengan cara memberikan kosa kata atau penggunaan bahasa yang mudah dipahami generasi ini.
Wakaf, selain Zakat dan Infak perlu dikenal perbedaannya agar pengaruh positif Milenial menjadi lebih berdampak di era mereka saat ini. Inilah yang dilakukan YukberWakaf.com dalam menyajikan tulisan ini agar sebagai ikhtiar memberi ilmu bermanfaat kepada generasi Milenial.
Kuy berWakaf!